Bid'ah Tidak General Dan Bid'ah Bukan Sebuah Hukum
Moh.
Ma'ruf Khozin
Nara Sumber "Hujjah Aswaja" tv9
Ada
seorang jamaah yang sudah berusia senja berkata: "Saya dari dulu tidak
pernah mendengar kyai yang dengan mudah mengatakan bid'ah. Tapi saat ini saya
selalu mendengar bid'ah; ziarah kubur bid'ah, shalawatan bid'ah dan
lain-lain"
Apa yang dikatakan oleh salah satu jamaah ini adalah sebuah potret gambaran keresahan sebagian umat Islam khususnya yang sering dihadapkan dengan tuduhan bid'ah dalam beberapa amaliyah keseharian mereka. Oleh karenanya perlu dipertegas apakah bid'ah berlaku secara general (umum) dan apakah bid'ah adalah sebuah hukum dalam pandangan ulama ahli hadis?
Definisi Bid'ah
Imam
al-Nawawi (w 676 H) dan Imam Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H) mendefinisikan
bid'ah dengan redaksi yang hampir sama yaitu: "Melakukan sesuatu yang
baru, yang tidak ditemukan di masa Rasulullah Saw" (al Tahdzib li Nawawi
III/22 dan Qawaid al Ahkam II/172)
Klasifikasi Bid'ah
Hadis-hadis
tentang peringatan untuk menjauhi bid'ah selalu didahului dengan anjuran melakukan
sunah. Seperti hadis sahih: "Barangsiapa yang hidup setelahku, maka akan
melihat perbedaan yang banyak. Maka berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah
para khalifah yang mendapat petunjuk, pegangilah dengan sekuat kalian. Dan
jauhilah setiap sesuatu yang baru, karena setiap bid'ah adalah sesat" (HR
Abu Dawud No 4609 dan Turmudzi No 2891)
Maka, sesuatu yang baru yang berdasarkan sunnah tidak masuk dalam kategori bid'ah yang sesat tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih yang lain: "Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang buruk dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun" (HR Muslim No 6975 dan Ahmad No 19179)
Menurut ahli Hadis, seperti Imam al-Nawawi (pengarang kitab Riyadushshsalihin), berkata bahwa hadis yang pertama (tentang setiap bid'ah adalah sesat) masih bersifat umum dan ditakhshish (dijelaskan) dengan hadis kedua (tentang sunnah yang baik dan buruk). Sehingga bid'ah diatas dibagi menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah (baik) dan sayyiah (buruk). (baca Syarah Sahih Muslim III/461)
Ahli hadis lainnya, al-Hafidz Ibnu Hajar juga sependapat dengan Imam al-Nawawi. Bahkan beliau mengutip pendapat Imam Syafii yang diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dan al-Hafidz Abu Nu'aim yang berbunyi: "Sesuatu yang baru (bid'ah) ada dua, terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Bila sesuai dengan sunnah, maka terpuji. Dan bila bertentangan dengan sunnah, maka tercela" (Fathul Bari Syarah Shahih al Bukhari XIII/253)
Bid'ah Hasanah di Masa Nabi Muhammad Saw
Bid'ah
hasanah (baik) tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saat ini, tetapi sejak
masa sahabat ketika Rasulullah Saw masih hidup, sudah banyak yang melakukan
bid'ah hasanah. Diantaranya adalah ketika Rasulullah berkata kepada Bilal:
"Wahai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam
Islam, karena aku telah mendengar kedua sandalmu di surga? Bilal menjawab:
"Kebaikan yang saya harapkan pahalanya adalah saya selalu melakukan salat
sunnah dua rakaat setiap saya selesai berwudlu' yang telah saya tentukan
waktunya" (HR al Bukhari No 1148 dan Muslim No 6274)
Sahabat Bilal sudah secara nyata melakukan bid'ah (salat dua rakaat setelah wudlu') yang tidak diajarkan dalam Islam oleh Nabi Muhammad Saw. Tapi Beliau tidak mengatakan: "Kamu melakukan bid'ah karena melakukan sesuatu yang baru", namun justru Rasulullah Saw memujinya.
Bahkan ada 3 sahabat yang melakukan bid'ah secara berbeda-beda. Diriwayatkan dari Sayidina Ali bahwa Abu Bakar melirihkan suaranya ketika membaca al-Quran, sementara Umar mengeraskan bacaannya, dan Ammar apabila membaca al-Quran ia mencampur surat yang ini dengan surat yang lain. Lalu hal itu dihaturkan kepada Nabi Saw, beliau bertanya kepada Abu Bakar: "Mengapa engkau membaca lirih?" Abu Bakar menjawab: "Allah dapat mendengar suara saya meskipun lirih". Nabi Saw bertanya kepada Umar: "Mengapa engkau membaca dengan keras?" Umar menjawab: "Saya mengusir syetan dan menghilangkan kantuk." Nabi Saw bertanya kepada Ammar: "Mengapa engkau mencampur dari surat yang ini dengan surat yang lain?" Ammar menjawab: "Apakah engkau pernah mendengarku mencampur dengan selain al-Quran?" Nabi Saw menjawab: "Tidak." Maka beliau bersabda: "Semuanya baik" (HR Ahmad No 865 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 2307. Ahli hadis al Hafidz al Haitsami menilai para perawinya adalah orang-orang terpercaya)
Bid'ah Hasanah di Masa Sahabat
Contoh
lain dari bid'ah hasanah yang dilakukan oleh para sahabat setelah Rasulullah
Saw wafat adalah pembukuan al-Quran menjadi satu mushaf yang tidak dilakukan di
masa Rasulullah (HR al Bukhari No 4679), salat Tarawih 20 rakaat berjamaah
dengan satu Imam di masjid bahkan Sayidina Umar bin Khattab berkata: "Ini
adalah sebaik-baiknya bid'ah" (HR al Bukhari No 2010), adzan Jumat dua
kali yang diperintahkan oleh Sayidina Utsman bin Affan (HR al Bukhari No 912)
dan sebagainya. Dan diantara para sahabat tidak ada yang saling menuduh bid'ah,
karena para sahabat tahu bahwa kesemuanya adalah bid'ah hasanah (baik).
Bid'ah Hasanah di Masa Tabi'in
Bid'ah hasanah yang dilakukan setelah
generasi sahabat diantara contohnya adalah pembukuan hadis-hadis Rasulullah
Saw, sebagaimana para sahabat membukukan al Quran dalam bentuk mushaf. Padahal
Rasulullah bersabda: "Janganlah
kalian menulis sesuatu dari saya selain al Quran. Barang siapa yang menulis
sesuuatu dari saya selain al Quran, maka hapuslah" (HR Muslim No 7702 dan Ahmad
No 11383).
Dalam hadis tersebut Rasulullah melarang menulis hadis apalagi membukukan hadis, tapi Umar bin Abdul Aziz dari dinasti Umayyah memerintahkan Ibnu Zuhri (w. 124 H) agar membukukan hadis, dan ternyata tidak ada satupun ulama yang mengatakan bid'ah yang sesat.
Bid'ah Bukan Sebuah Hukum
Bid'ah
saat ini kerap dijadikan sebagai sebuah hukum atas setiap kejadian atau
perilaku amaliyah tertentu. Para ulama, baik ahli ushul fikih (ilmu yang
memproduk hukum), ahli fikih, ahli hadis dan sebagainya bersepakat bahwa hukum
yang ada dalam Islam hanya 5, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram.
Sementara bid'ah tidak masuk dalam kategori hukum.
Syaikh Izzuddin bin Abdussalam mengatakan bahwa untuk mengetahui bid'ah mengarah kepada 5 hukum diatas, maka harus diarahkan kepada kaidah-kaidah dalam hukum Islam. Jika bid'ah tersebut masuk dalam kaidah-kaidah wajib, maka bid'ah tersebut hukumnya wajib (seperti membukukan al Quran dan hadis). Jika masuk dalam kaidah-kaidah haram, maka bid'ah tersebut hukumnya haram, dan seterusnya. (Qawaid al Ahkam II/172). Pendapat ini juga disetujui oleh ahli hadis al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Syarah Sahih al Bukhari dan Imam al Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim.
Oleh karenanya, sebagai bentuk konsistensi atas ijma' (konsensus) tersebut, ketika ulama menyebut bid'ah selalu diberi kata sifat (ajektif) di belakangnya, seperti kalimat al-bid'ah al-mubahah (bid'ah yang diperbolehkan), al-bid'ah al-makruhah (bid'ah yang makruh), al-mandubah, al-muharramah dan sebagainya.
Penutup
Bid'ah, sebagaimana
telah dijelaskan dari hadis-hadis sahih dan diperkuat oleh ulama ahli hadis,
bukanlah sebuah kata-kata yang bisa dijadikan landasan hukum secara umum,
karena bid'ah sendiri bukan hukum dan bid'ah adakalanya yang baik (hasanah
atau mahmudah) jika tidak menyimpang dari ajaran Islam, dan bid'ah yang
buruk (sayyiah atau madzmumah) jika memang menyimpang dari
dalil-dalil dalam agama. Sehingga diharapkan tidak dengan mudah umat Islam
menuduh bid'ah kepada sesama saudaranya yang muslim.
Silahkan isi komentar yang sopan, dan sesuai dengan konten, dan jangan menyisipkan link aktif maupun non aktif.
EmoticonEmoticon