Menggali
Hikmah Halal Bi Halal
Moh Ma’ruf Khozin
Bulan Ramadlan
sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi Saw adalah kesempatan waktu untuk
meningkatkan nilai keimanan dan kualitas ibadah sebagai cerminan hubungan
'kesalehan' antara makhluk dan Allah, begitu pula di dalamnya ada nilai-nilai
ibadah sosial antar sesama manusia seperti zakat fitrah, takjil buka puasa dan
sebagainya. Di akhir puasa, setelah mampu menjalankan perintah Allah dan mampu
mengalahkan nafsu, kita mengagungkan Allah pada malam hari raya, sebagaimana
firman Allah Swt:
وَلِتُكْمِلُوْا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُوْنَ ﴿البقرة : 185﴾
"Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan Ramadlan dan
hendaklah kamu (bertakbir) mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur" (al-Baqarah: 185)
Selesai berhari raya,
khususnya di Indonesia ada sebuah tradisi yang menggambarkan 'memperbaiki dan
mempererat hubungan antar sesama manusia' sebagai simbol keharmonisan dengan lingkungan
sosialnya setelah mereka memperbaiki hubungan dengan sang Khaliq selama
satu bulan penuh. Hal ini ditujukan agar dua sisi kehidupan tersebut bisa
dicapai dengan baik, sebagaimana firman Allah Swt:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنَ اللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ
النَّاسِ .... ﴿ال عمران : ١١٢﴾
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada,
kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian)
dengan manusia…" (Ali Imran: 112)
Tradisi tersebut
populer dengan sebutan 'Halal bi Halal', sebuah nama dan istilah yang
digunakan untuk saling bermaaf-maafan yang sama sekali tidak ditemukan di
Negara Islam lainnya, terlebih di masa awal generasi Islam. Permasalahannya
apakah kemudian halal bi halal dikategorikan sebagai bid'ah sayyiah
(tercela) yang pelakunya diancam dengan neraka? Para ulama sepakat, diantaranya
dipopulerkan oleh Imam Syafi'i, bahwa: 'Setiap sesuatu yang memiliki dalil
dasar dalam agama, maka tidak disebut sebagai bid'ah yang tercela'. Halal bi
halal memiliki konotasi makna untuk saling meminta 'kehalalan' atau permintaan
maaf kepada orang lain terkait dengan perilaku atau perkataan yang menyakiti
mereka. Kalimat 'meminta halal' atau maaf ini bersumber dari sebuah hadis sahih
yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ ِلأَخِيْهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ
لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ ِلأَخِيْهِ مِنْ
حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيْهِ
فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ (رواه البخاري رقم 6534)
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw
bersabda: Barangsiapa pernah berbuat dzalim kepada saudaranya, maka hendaknya
ia minta kehalalannya (minta maaf). Sebab disana (akhirat) tidak ada dinar dan
dirham (untuk menebus kesalahan). Sebelum amal kebaikannya diambil dan
diberikan kepada saudaranya yang didzalimi tersebut. Jika ia tidak memiliki
amal kebaikan, maka amal keburukan saudaranya akan dilemparkan kepadanya" (HR al-Bukhari No
6534)
Madzlamah atau perbuatan
dzalim tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Saw (dalam riwayat Ahmad No 10580)
meliputi dua hal, yakni berbuat salah kepada orang lain secara fisik atau
psikis, dan berbuat salah yang berkaitan dengan harta. Dari perbuatan dzalim
tersebut, kita diharuskan meminta halal atau maaf kepada orang yang pernah kita
dzalimi. Kendatipun terlihat remeh dan sepele, namun meminta halal atau maaf
ini memiliki hikmah yang sangat berguna, yakni nanti kita tidak melewati
peradilan akhirat yang sangat berat sebagaimana dijelaskan dalam hadis
tersebut, sehingga kita lebih cepat dalam proses masuk ke surga Allah, Amin.
Darisinilah kita bisa
melihat betapa bijaknya para ulama di Negara kita yang mampu menerapkan
kandungan hadis di atas ke dalam sebuah tradisi lokal yang bisa dilakukan oleh
semua kalangan.
Acara halal bi halal
yang menjadi rutinitas dalam banyak kegiatan, seperti di masjid, kampung,
tempat kerja, kantor dan komunitas masyarakat lainnya, tidak semata-mata
menjadi seremoni belaka, namun menjadi faktor besar dalam kerukunan masyarakat,
jauh dari perilaku kriminalitas dan anarkhis, juga turut menjadi penyumbang
kondisi masyarakat yang agamis dan taat dalam menjalani kehidupan bernegara,
sebagaimana hadis Rasulullah saw:
عَنْ سَخْبَرَةَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ
وَأُعْطِيَ فَشَكَرَ وَظُلِمَ فَغَفَرَ وَظَلَمَ فَاسْتَغْفَرَ أُوْلَئِكَ لَهُمُ
اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ (رواه الطبراني في الكبير رقم 6482
والبيهقي في شعب الايمان رقم 4117)
"Diriwayatkan dari Sakhbarah bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Barangsiapa diberi cobaan kemudian bersabar, diberi nikmat kemudian bersyukur,
dianiaya kemudian memaafkan, dan berbuat dzalim kemudian meminta maaf, maka
merekalah yang mendapatkan kedamaian dan merekalah yang mendapat hidayah" (HR al-Thabrani
dalam al-Kabir No 6482 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No
4117)
Dengan deikian,
hikmah halal bi halal dapat kita ambil hikmahnya baik ketika hidup di dunia
maupun di akhirat kelak. Ketika di dunia hikmahnya adalah kehidupan di
lingkungan masyarakat menjadi aman, damai dan menciptakan ketertiban dalam
beragama dan bernegara. Ketika di akhirat, akan meringankan beban kita dari
hak-hak dan kewajiban terhadap sesama manusia. Selamat Hari Raya Idul Fitri
1432 H. Minal Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.
4 komentar
Maaf, adakah adakah hadits tenteng halal bihalal di hari raya
Maaf adakah dalil yang melarang halal bi halal dihari raya?
Numpang ngopis mas semoga bermanfaat
Apakah rasulullah melaksanakan halal bi halal di hari raya?
Silahkan isi komentar yang sopan, dan sesuai dengan konten, dan jangan menyisipkan link aktif maupun non aktif.
EmoticonEmoticon