MATERI BAHTSUL MASAIL
KONFERENSI WILAYAH NU JAWA TIMUR TAHUN 2013
KOMISI MAUDLUIYAH
1.
Kekebalan
Jurnalistik
Deskripsi Masalah :
Sempat terwacanakan tafsir atas penggalan QS.
al-Baqarah 282: ولا يأب الشـهداء
إذا ما دعـوا (wa la ya’ba
al-syahadau idza ma du’u) sebagai dasar penetapan hukum “kekebalan
jurnalistik”. Konsekuensi dari penafsiran tersebut mengesahkan kebebasan pers,
hal tersebut rentan melahirkan pemberitaan sepihak dan mengakibatkan pencemaran
nama baik seseorang. Kepada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaan media
cetak/elektronik oleh UU Pers dan Kode Jurnalistik difasilitasi dengan “hak
jawab” lewat media yang sama. Kapasitas insan jurnalis tidak setingkat dengan
“saksi/syahid” yang tentunya harus konfirmasi atas kebenaran berita (vide QS.
al-Hujurat 6). Posisi subyek yang diberitakan justeru sederajat dengan “mudda’a
‘alayh” dan cukup bersumpah sebagai penolakan atas berita.
a.
Seperti apa rumusan tafsir
komprehensif atas penggalan QS. al-Baqarah 282 ?
b.
Adakah pengaturan kebebasan pers
dalam Islam?
c.
Sanksi hukum apa layak dijatuhkan
kepada pelaku pencemaran nama baik seseorang karena perlindungan terhadap
kehormatan hamba “hifdzu al-irddhi” masuk pada misi pokok al-dharuriyat
al-khams ?
2.
Bai’at dalam
Pengamalan Agama
Deskripsi Masalah :
Proses penerimaan keislaman seseorang/kelompok pada masa
hidup Nabi Muhammad Saw ditandai dengan bai’at. QS. al-Taubah 111,
al-Mumtahanah 12, al-Fatah 10, 19 dan fakta sejarah periode nubuwah. Pada masa
sekarang ceremony bai’at mewarnai proses penerimaan salik oleh mursyid
thariqah. Hegemoni rasa keagamaan versi thariqah senantiasa menjadi kebanggaan
tersendiri. Ekses negatifnya menimpa kelompok muslim yang tidak mengafiliasikan
diri pada jaringan thariqah tertentu. Dalam hazanah fuqaha bai’at menjadi syarat
legitimasi pejabat khilafah/ imamah.
Pertanyaan:
a. Wajibkah
setiap muslim berthariqah dan berbai’at kepada mursyid tertentu?
b. Seberapa
jauh bai’at dalam thariqah memiliki nilai tambah bagi mutu amaliah keagamaan
seseorang?
c.
Prosedur bai’at
barzahiyah cukup menjadi bukti bahwa sanad thariqah tidak diwarnai fakta mu’asharah
(kesejamanan) dan tak ada jaminan tsubut al-liqa’ (kepastian komunikasi
antara mursyid dengan khalifah), berarti sanad thariqah terputus. Adakah
jaminan syar’i bahwa temu ruh, konsultasi spiritual memadai untuk dasar
ittiba’?
3. Dasar
Memilih Alternatif Kebijakan
Deskripsi Masalah :
Instrumen yang
diperbantukan dalam menetapkan pilihan kerja, pilihan jodoh, pilihan lokasi
usaha, arah menghadap rumah kediaman dan pilihan tindakan yang lain tersedia
dalam berbagai sarana. Jasa paranormal,
kaidah Hong Sui (Cina), buku primbon, ramalan astrologi, hitungan wifiq hingga
istikharah di atas lembaran mushaf. Cara melempar kalam (QS. Ali Imran 44),
kritik atas permainan anshab dan azlam (QS. al-Maidah 90), yang
pertama masuk syar’u man qablana terimbangi dengan cara qur’ah oleh Nabi
Saw dalam menentukan isteri pendamping dalam perjalanan luar kota, sedang yang
kedua terlarang.
Pertanyaan:
a. Adakah petunjuk
praktis yang sesuai akidah untuk menentukan pilihan instrumen?
b. Bila Abu Hamid
al-Ghazali menghimpun rumus wifiq, seperti juga Abu Mahsyar al-Falaki, buku
primbon menyediakan rumus-rumus menduga rencana serupa, apakah terlarang
penggunaannya? Bukankah sikap hati-hati (waspada akan akibat) diperintahkan?
Bagaimana memanage qadha mu’allaq?
c. Seperti apa
rangkai hubungan antara qadha dan qadar versi ahlus-sunnah wal-jama’ah?
4.
Status Nasab
Anak
Deskripsi Masalah :
Anak yang
terlahir selepas iddah thalaq, sedang ibu anak tersebut tetap menjanda menjadi
dilematis bagi pria mantan suami dari ibu tersebut bila harus menerima atau
harus menolak tuntutan nisbah anak kepadanya. Ikatan hukum nikah telah lepas
akibat thalaq bain, karenanya tertutup baginya untuk menempuh upaya li’an
dengan tujuan “nafyu al-walad”. Ketahanan janda yang melahirkan anak tersebut kehilangan
dasar hukum untuk menggugat mantan suaminya agar mengakui nasab anak tersebut.
Pada pasal 102 ayat (1) KHI ditegaskan bahwa pengingkaran
terhadap status nasab anak mematok batas waktu 360 hari pasca putus perkawinan
atau 180hari sesudah hari lahir anak. Batasan waktu demikian berlawanan dengan
doktrin mainstream fuqaha sunni.
Pertanyaan:
a. Sekira anak
perempuan terlahir pasca iddah thalaq atas diri ibu yang melahirkannya, kepada
siapa otoritas wali nikah harus diberikan?
b. Bagaimana
kepastian tuntutan nafaqah anak tersebut dan hak hadhanah harus dibebankan?
c. Adakah status
saudara dalam hukum waris dengan anak yang lahir sewaktu pasangan ibu dan ayah
tersebut masih utuh pernikahannya?
5.
Operasionalisasi
Maqashid al-Syari’ah
Deskripsi Masalah :
Penalaran terkait hal-hal yang
tidak diatur lewat nash syar’i telah muncul kecenderungan pada pertimbangan “maqashid
al-syari’ah” yang terurai pada kitab al-Mawafaqat fi Ushuli al-Syari’ah
karya al-Syathibi. Analisis terkait maslahat-mafsadah, krietria dalam
menilai dharuriat-hajiat-tahsiniyat-tahsiniat/takmiliat bisa terjebak
pada ukuran subyektif, lokalistik, pragmatik, periodik hingga sifat partikulir.
Ketegasan dalam menunjuk
hipotesis (dugaan) masalah tak jarang bisa mengabaikan aturan nash
sunnah/hadis/praktek keagamaan/fatwa ulama salaf dan doktrin keagamaan pada kutub
al-mu’tabarah. Sikap ikhtiyath (hati-hati) dalam berfatwa, pengujian
argumentasi/hujjah syar’iyah bisa tanpa istiqra’ terhadap dampak.
Pertanyaan:
a. Bila
pola penalaran “maqashid al-syari’ah” efektif dioperasionalkan?
b. Upaya
ilmiah apa harus menindaklanjuti uji kebenaran hukum yang berorientasi pada maqashid
al-syari’ah?
c. Bagaimana
nilai pertanggungjawaban fatwa hukum bila sebatas didasari prediksi maqashid
al-syari’ah, karena langkah kerjanya mirip dengan eksplorasi illat
mustanbathah untuk berqiyas?
6.
Prinsip jam’iyah
NU “ الأخذ
بالجديد الأصلح “
Deskripsi Masalah :
Prinsip kerja jam’iyah tersebut
populer oleh inisiatif KH. Ahmad Shiddiq (alm) sekitar 1983-1984 bersamaan
pelaksanaan MUNAS/ Muktamar Situbondo. Bagi kalangan awam ungkapan slogan
tersebut sama membingungkan dengan “kembali ke khittah 1926”. Kiranya perlu
penjabaran otentik (tafsir bayani) atas maksud ungkapan tersebut.
Pertanyaan:
a. Apakah
slogan jam’iyah tersebut inklusif ke dalam kerangka “Khithah Nahdliyah”?
b. Gerak
operasional slogan tersebut menghajatkan langkah “tarjih” guna
mengklarifikasi sifat shalih dan ashlah. Bukankah kemampuan
tarjih bagi NU tergolong aktifitas ijtihad murajjih/muharrir? Siapkah
kader Nu masa kini melakukan uji komparatif antara satu/lebih doktrin ulama
salaf?
Efektifkah implementasi slogan tersebut pada masalah siyasah
duniawiyah, teknis kejam’iyahan atau direkomendasikan pada wilayah ilmiah
dan berarti peluang berpikir liberal?
1 komentar:
btw.. fotonya KH. A. Hasyim Muzadi Mana Ra...??? ko' g ada
Silahkan isi komentar yang sopan, dan sesuai dengan konten, dan jangan menyisipkan link aktif maupun non aktif.
EmoticonEmoticon